Senin, 14 Januari 2008

Wisata dan Pulau Kita

Oleh : Al Busyra Basnur*

Wisata dan pulau vital dalam kancah pariwisata dunia, khususnya Indonesia, negara kepulauan dengan jumlah pulau tak terbilang pasti karena ada yang hilang dan ada pula tiba-tiba muncul baru. Disamping tentunya faktor sejarah, kekayaan seni dan ragam budaya rakyat yang bernilai tinggi.
Namun, saat wisata kita dalam kondisi sulit dan beberapa pulau nusantara tercinta,
utamanya pulau wisata, menghadapi persoalan, apa yang harus segera kita lakukan ke depan ?
Belum Pulih
Ketika Menteri Koordinator Kesejahteraan, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Menteri Pemuda dan Olah Raga dan Menteri Pendidikan Nasional bersama Komisi X DPR mengadakan rapat kerja tanggal 21 Februari 2006 lalu, muncul keprihatinan mendalam tiada kira tentang kondisi pariwisata nasional saat ini. Kepercayaan masyarakat dunia terhadap pariwisata Indonesia masih belum pulih seperti sediakala.
Padahal kepercayaan menjadi salah satu modal utama keberhasilan pariwisata dimanapun. Rasa ragu, khawatir dan was-was ternyata masih menyelimuti pikiran calon wisatawan mancanegara yang bermaksud menghabiskan liburan mereka di Indonesia.
Kenapa ?. Mereka belum yakin keamanan di tempat-tempat tujuan wisata Indonesia terjamin baik. Bom Bali I dan II yang disiarkan media luas masih terang benderang terbayang di depan mata dan ingatan mereka. Ditambah bayang-bayang gelap, teror keamanan yang pernah menghantui beberapa objek strategis lain tujuan wisata Indonesia.
Indonesia perlu waktu setidaknya enam bulan guna memulihkan kepercayaan dunia pariwisata internasional. Itupun, tentunya, jika tak terjadi hal-hal luar biasa yang mengguncang urat nadi pariwisata Indonesia. Kejadian-kejadian semacam itu tak jarang dengan mudah mengundang munculnya travel warning dari berbagai negara sumber wisatawan internasional.
Kian kita yakin, tugas ke depan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dan lembaga-lembaga terkait kegiatan pariwisata nasional, sungguh berat. Terobosan pemasaran wisata Indonesia di luar negeri, khususnya Eropa, Jepang dan Australia tak kan selalu mendatangkan keuntungan dan hasil-hasil besar jika tidak didukung kondisi kondusif komprehensif segala lini di dalam negeri.
Pariwisata kita memerlukan penanganan pengamanan menyeluruh, desa atau kota, pantai atau gunung, darat atau laut bahkan termasuk udara. Tak heran, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik pada Mei 2005 lalu meminta agar pengamanan pariwisata mendapat perlakuan sama dengan kilang-kilang minyak dan gas. Kenapa ?. Pariwisata memberikan sumbangan devisa nomor dua terbesar kepada negara setelah minyak dan gas.
Tahun 2004, perolehan devisa negara dari minyak dan gas mencapai US $ 12 miliar, sedangkan dari sektor pariwisata US $ 5 miliar. Sementara, sumbangan sektor pariwisata dari dalam negeri (domestik) tahun 2005 sekitar Rp 100 triliun, suatu angka yang wah !.
Pulau Wisata
Ditengah situasi pariwisata nasional demikian, belum lama berselang muncul berita bahwa sejumlah pulau potensial Indonesia yang selama ini menjadi bagian tujuan wisatawan dunia, bermasalah dan atau diduga bermasalah. Sebut misalnya pulau Bidadari dan pulau Mungudu di Nusa Tenggara Timur serta beberapa pulau lain yang dilaporkan bermasalah atau berpotensi bermasalah. Isu tersebut kini menjadi perhatian dan perbincangan ramai.
Kita semua tentunya satu dalam kata dan serangkai dalam bahasa bahwa kepemilikan dan pengelolaan pulau-pulau sekecil apapun di Indonesia baik oleh perorangan atau badan usaha Indonesia maupun oleh perorangan atau badan usaha asing, harus diatur dengan baik sesuai hukum dan peraturan yang berlaku serta tidak bertentangan dengan nilai-nilai moral, sosial, budaya dan adat istiadat lokal. Terutama pulau-pulau Indonesia yang potensial wisata yang selama ini telah dikenal baik dan menjadi tujuan penting wisatawan dunia.

Munculnya isu Pulau Bidadari yang dikelola warga negara asing, Ernest Lewan Dowsky, hanya karena masyarakat sekitar dan pihak keamanan dilarang masuk ke pulau tersebut. Izin usaha Ernest untuk membuka usaha wisata hanya dikawasan seluas 5 hektar saja dari total 15,4 hektar luas pulau. Jadi, mestinya tiada alasan melarang penduduk sekitar, apalagi pihak keamanan menjalani rutinitas keseharian mereka di pulau tersebut.
Lalu, kenapa Ernest lancang melarang masyarakat lokal dan pihak keamanan masuk pulau itu, sementara turis-turis asing begitu bebasnya ?. Boleh jadi karena ada komunikasi yang putus antara pengelola, penguasa dan masyarakat setempat. Mungkin ada hal-hal yang tidak jelas atau belum dijelaskan, baik pada saat pemberian izin usaha atau kontrol pada masa operasional. Atau mungkin juga ada hal-hal yang tak terungkap atau belum diungkap dengan baik dan terang benderang.
Tahun 1999, sebelum keberangkatan bertugas di Perwakilan RI di luar negeri kami pernah diundang mengunjungi sebuah pulau wisata di salah satu pulau kecil Indonesia yang dikelola warga negara asing. Pulau cantik nan indah tanpa penduduk lokal.
Beberapa waktu setelah kunjungan, kami menerima keluhan, nelayan yang bermukim disekitar pulau tidak boleh masuk pulau oleh pengelola. Bahkan mereka diusir agar menjauhi pulau tersebut. Setelah dicek ke pihak pengelola, larangan tersebut muncul karena pengelola tidak mau budaya asli penduduk lokal di sekitar pulau tercemar menyaksikan penampilan wisatawan (barat) menikmati liburan mereka di pulau tersebut.
Tantangan
Masalah pengelolaan pulau-pulau wisata Indonesia, terutama oleh warga negara asing, harus mendapat perhatian dan penanganan serius pemerintah dan bangsa kita. Ini merupakan tugas sekaligus tantangan, khususnya bagi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Dalam Negeri serta pemerintah daerah di berbagai wilayah Indonesia. Pulau Bidadari hanya satu dari sekian banyak pulau wisata yang perlu mendapat perhatian khusus kita bersama.
Di satu pihak, pulau-pulau tujuan wisata adalah sumber devisa negara, khususnya untuk daerah. Namun di pihak lain, jika pengelolaan pulau-pulau itu tidak dilakukan dengan baik dan benar, dapat menimbulkan bencana bagi anak cucu bangsa kita tercinta di kemudian hari. Apalagi jika pulau-pulau tersebut berlokasi di kawasan perbatasan rawan konflik dengan negara tetangga. Kita butuh investasi asing bidang wisata, namun harkat dan harga diri bangsa berada jauh di atasnya.
Tantangan ke depan ditambah pula banyaknya pulau-pulau lain potensial wisata yang sedang menunggu giliran dikembangkan menjadi tujuan wisata dunia, serta munculnya pulau-pulau baru yang berpotensi dikembangkan menjadi tujuan wisata, termasuk 19 pulau yang ditemukan di perairan pantai barat Bengkulu Februari 2006 lalu.
Kita punya potensi besar pasar wisata dunia, mari kita jaga dan kembangkan dengan baik. Kita punya pulau-pulau mungil atraktif bagi wisatawan dunia, mari kita kelola, pelihara dan lindungi dengan baik. Wisata dan pulau menjadi mata air kehidupan dan sumber kesejahteraan masyarakat bangsa apabila dikelola dengan baik dan benar. Sebaliknya, ia akan menjadi pemicu bencana tiada akhir apabila tidak dikelola oleh tangan-tangan professional dengan nasionalisme kental.
* Alumnus Universitas Andalas Padang dan
University of Santo Tomas, Manila. Bertugas di Jakarta
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Seputar Indonesia, Jumat 24 Maret 2006

Tidak ada komentar: